Pengertian
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau apa yang hanya merupakan konstruksi dasi akal manusia.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Latar Belakang Masalah
Lahirnya paham positivisme, bukannya tidak memberi makna yang tidak terlalu berarti dalam sejarah peradaban manusia. Keberadaannnya memberikan andil yang sangat besar di dalam perjalanan peradaban manusia. Begitu banyaknya paham yang telah lahir pada era postpositivisme yang dibawa oleh penganutnya dengan pola dan metodenya masing-masing, ikut berperan serta merubah tatanan kehidupan dunia, semisal pada masa perang dunia ataupun sesudahnya hingga sekarang. Dan perubahan itu bukan hanya pada bidang social, tetapi juga dibidang pengetahuan axact, ataupun metafisika meskipun positifisme bersifat anti-metafisika. Paham ini turut serta berinvestasi menambah khasanah metodologi penelitian dalam penarikan kesimpulan dari suatu fakta.
Begitu uniknya fenomena yang terjadi baik pada masa perkembangan positivisme maupun pada masa postpositivisma, sehingga menarik minat penulis untuk terus menggali lebih banyak mengenai paham ini, selain dikarenakan, bahwa tulisan ini merupakan tugas semester.
III. Batasan Masalah
Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas positivisme dari perspektif social. Selain itu tidak semua paham paham dalam postpositivisme akan diangkat secara mendalam, melainkan hanya sekilas saja. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari fenomena klasik, dimana pembaca sering kehilangan gagasan utama dari suatu inti permasalahan dikarenakan pembahasan-pembahasan dari suatu ‘permisalan’ yan teralu mendalam.
Dalam tulisan ini penulis akan memfokouskan pada sejarah perkembangan positivisme dan persengketaan terhadap paham ini, juga paham-paham dalam positivime secara garis besar.
ISI
I. Sejarah Perkembangan Positivisme
Pada masa awalnya, positivisme merupakan paham tentang hukum dan pengetahuan, yang hanya mengakui kebenaran hukum yang berlaku pada suatu saat dan pada suatu tempat, dimana suatu kejadian itu terjadi. Lain soal dengan pertimbangan agama, hukum alam tidak ikut serta dalam penilaian.
Dalam lapangan falsafah, positivisme dikaitkan dengan seorang ahli falsafah pada abad ke-19, Auguste Comte. Menurut Comte, falsafah hendaknya mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa yang positive. Artinya, segala peristiwa yang dialami manusia. Karenanya positivisme berrpendapat bahwa segala pengetehuan mengenai hal-hal yang mengatasi pengalaman kita (semisal; pengetahuan mengenai hakekat sesuatu) adalah spekulasi belaka. Dengan demikian, positivisme adalah anti-metafisika, bandingakan dengan ajaran Kant (1724-1802) yang mempopulerkan aliran teologi yang memberanguskan segala unsur kepercayaan yang ‘tidak masuk akal’ penalaran dan logika. Dalam keyakinannya pada tuhan, Kant tampil dan menjabarkan keyakinannya, bahwa setiap pengetahuan adalah bersumber pada pengalaman. Ia menyatakan bahawa mustahil pengetahuan dapat melampaui pengalaman (noumenal world). Selanjutnya positivisme juga bertentangan dengan rasionalisme dan idealisme, sebaliknya sering kali sejalan dengan materialisme, mekanisme dan sensualisme.
Dalam kajian disiplin ilmu sosiologi, antropologi dan ilmu social lainnya, positivisme dianalogkan dengan paham naturalisme yang berpendapat bahwa positivisme merupakan cara pandang dalam memahami dunia yang berdasarkan sains. Para penganut paham ini meyakini bahwa hanya sedikit perbedaan antara ilmu social dan alam, karena kondisi social masyarakat dan kehidupan masyarakat social berjalan berdasarkan aturan-aturan tertentu, demikian juga dengan alam. Bahkan gerakan positivisme logis, membangun prospek kesatuan ilmu-ilmu yang bertumpu pada konvensi-konvensi bahasa fisika. Mereka menolak tesis reduksionalisme, menantang kemungkinan kesatuan ilmu. Menurut pandangan ini, semua disiplin ilmu dapat diungkapkan dengan bahasa fisika.
II. Objek Kajian Positivisme
Menurut Jim E. Volker, pokok-pokok kajian positivisme adalah perkembangan 3 jenjang (perkembangan hokum manusia) dengan pembahasan yang serupa dengan ajaran sensualisme, yang dalam bentuknya yang paling extrim berpendapat bahwa, ilmu pengetahuan sama sekali disusun atas dasar-dasar sensasi; pkiran dipandang sebagai tabula rasa yang pasif belaka.
Jenjang I perkembangan teologi
1. Dogmatif normative
2. Absolut
3. Sacral
Jenjang II Metafisika
1. Kerangka pemikiran
2. Idiologi
3. Responsive-eksplorativ
Jenjang III Positive
1. Budaya
2. Relative
3. Konflik
Sarana yang digunakan untuk melakukan kajian dalan paham ini adalah melalui metodolgi pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metodologi histories. Menurut Muhajir (2000) –seorang guru besar filsafaat ilmiah dan metode penelitian UGM- positivisme tidak mempertentangkan antara logika induktif maupun deduktif, melainkan lebih menekankann pada fakta empiris menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah, dalam hal ini berbeda dengan aliran rasionalisme; yang melakukan pendekatan berdasarkan pandangan bahwa suatu realitas memiliki struktur logis yang dapat diraih dengan bukti dan penalaran deduktif.
III. Kelemahan
Aliran yang paling ‘keras’ memberikan kritik kepada paham ini adalah aliran rasionalisme. Penganut aliran rasionalisme berpendapat bahwa positivisme memiliki banyak kelemahan, antara lain bahwa postitvisme terlalu mengedepankan pencarian-pencarian makna di balik fakta empiric sensual dan selain itu juga terlalu mengunggulkan fakta fragmentatif, sehingga kehilangan konteks sosio cultural dan hasil penelitian cenderung bersifat reduksionalistik dan seringkali melupakan fakta empiris yang lain, seperti empiric logic, empiric teoritis dan sebagainya.
IV. Post Positivisme
Sudah cukup banyak paham yang telah lahir dan berakar dari paham positivisme, dan masala yang paling fatal dari semua paham yang telah lahir dan berkembang saat ini menurut Ismail Al-Faruqi adalah tidak adanya peran tuhan di dalam penjabaran perkembangan hukum manusia.
Beberapa paham yang telah lahir dari paham ini, antara lain; darwinisme yang pada awalnya merupakan paham yang mengkaji manalah exact, dikarenakan sebab adanya kesamaan paham, baik itu dalam metodologi maupun kesimpulan, pada akhirnya paham ini berkembang kearah pemabahasan ideology, dalam hal ini adalah kajian metafisika. Selain itu juga berkembang paham seperti nazi-isme, marx-isme, komunisme dan lain sebagainya.
Manfaat dari keberadaan aliran positivisme seringkali terasa ketika faham ini telah melebur dengan seatu disiplin ilmu tertentu, seperti statistika mengenai metode penelitiannya, fisika, kimia, sosiologi, komunikasi, antropologi dan berbagai objek kajian lainnya.
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau apa yang hanya merupakan konstruksi dasi akal manusia.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Latar Belakang Masalah
Lahirnya paham positivisme, bukannya tidak memberi makna yang tidak terlalu berarti dalam sejarah peradaban manusia. Keberadaannnya memberikan andil yang sangat besar di dalam perjalanan peradaban manusia. Begitu banyaknya paham yang telah lahir pada era postpositivisme yang dibawa oleh penganutnya dengan pola dan metodenya masing-masing, ikut berperan serta merubah tatanan kehidupan dunia, semisal pada masa perang dunia ataupun sesudahnya hingga sekarang. Dan perubahan itu bukan hanya pada bidang social, tetapi juga dibidang pengetahuan axact, ataupun metafisika meskipun positifisme bersifat anti-metafisika. Paham ini turut serta berinvestasi menambah khasanah metodologi penelitian dalam penarikan kesimpulan dari suatu fakta.
Begitu uniknya fenomena yang terjadi baik pada masa perkembangan positivisme maupun pada masa postpositivisma, sehingga menarik minat penulis untuk terus menggali lebih banyak mengenai paham ini, selain dikarenakan, bahwa tulisan ini merupakan tugas semester.
III. Batasan Masalah
Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas positivisme dari perspektif social. Selain itu tidak semua paham paham dalam postpositivisme akan diangkat secara mendalam, melainkan hanya sekilas saja. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari fenomena klasik, dimana pembaca sering kehilangan gagasan utama dari suatu inti permasalahan dikarenakan pembahasan-pembahasan dari suatu ‘permisalan’ yan teralu mendalam.
Dalam tulisan ini penulis akan memfokouskan pada sejarah perkembangan positivisme dan persengketaan terhadap paham ini, juga paham-paham dalam positivime secara garis besar.
ISI
I. Sejarah Perkembangan Positivisme
Pada masa awalnya, positivisme merupakan paham tentang hukum dan pengetahuan, yang hanya mengakui kebenaran hukum yang berlaku pada suatu saat dan pada suatu tempat, dimana suatu kejadian itu terjadi. Lain soal dengan pertimbangan agama, hukum alam tidak ikut serta dalam penilaian.
Dalam lapangan falsafah, positivisme dikaitkan dengan seorang ahli falsafah pada abad ke-19, Auguste Comte. Menurut Comte, falsafah hendaknya mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa yang positive. Artinya, segala peristiwa yang dialami manusia. Karenanya positivisme berrpendapat bahwa segala pengetehuan mengenai hal-hal yang mengatasi pengalaman kita (semisal; pengetahuan mengenai hakekat sesuatu) adalah spekulasi belaka. Dengan demikian, positivisme adalah anti-metafisika, bandingakan dengan ajaran Kant (1724-1802) yang mempopulerkan aliran teologi yang memberanguskan segala unsur kepercayaan yang ‘tidak masuk akal’ penalaran dan logika. Dalam keyakinannya pada tuhan, Kant tampil dan menjabarkan keyakinannya, bahwa setiap pengetahuan adalah bersumber pada pengalaman. Ia menyatakan bahawa mustahil pengetahuan dapat melampaui pengalaman (noumenal world). Selanjutnya positivisme juga bertentangan dengan rasionalisme dan idealisme, sebaliknya sering kali sejalan dengan materialisme, mekanisme dan sensualisme.
Dalam kajian disiplin ilmu sosiologi, antropologi dan ilmu social lainnya, positivisme dianalogkan dengan paham naturalisme yang berpendapat bahwa positivisme merupakan cara pandang dalam memahami dunia yang berdasarkan sains. Para penganut paham ini meyakini bahwa hanya sedikit perbedaan antara ilmu social dan alam, karena kondisi social masyarakat dan kehidupan masyarakat social berjalan berdasarkan aturan-aturan tertentu, demikian juga dengan alam. Bahkan gerakan positivisme logis, membangun prospek kesatuan ilmu-ilmu yang bertumpu pada konvensi-konvensi bahasa fisika. Mereka menolak tesis reduksionalisme, menantang kemungkinan kesatuan ilmu. Menurut pandangan ini, semua disiplin ilmu dapat diungkapkan dengan bahasa fisika.
II. Objek Kajian Positivisme
Menurut Jim E. Volker, pokok-pokok kajian positivisme adalah perkembangan 3 jenjang (perkembangan hokum manusia) dengan pembahasan yang serupa dengan ajaran sensualisme, yang dalam bentuknya yang paling extrim berpendapat bahwa, ilmu pengetahuan sama sekali disusun atas dasar-dasar sensasi; pkiran dipandang sebagai tabula rasa yang pasif belaka.
Jenjang I perkembangan teologi
1. Dogmatif normative
2. Absolut
3. Sacral
Jenjang II Metafisika
1. Kerangka pemikiran
2. Idiologi
3. Responsive-eksplorativ
Jenjang III Positive
1. Budaya
2. Relative
3. Konflik
Sarana yang digunakan untuk melakukan kajian dalan paham ini adalah melalui metodolgi pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metodologi histories. Menurut Muhajir (2000) –seorang guru besar filsafaat ilmiah dan metode penelitian UGM- positivisme tidak mempertentangkan antara logika induktif maupun deduktif, melainkan lebih menekankann pada fakta empiris menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah, dalam hal ini berbeda dengan aliran rasionalisme; yang melakukan pendekatan berdasarkan pandangan bahwa suatu realitas memiliki struktur logis yang dapat diraih dengan bukti dan penalaran deduktif.
III. Kelemahan
Aliran yang paling ‘keras’ memberikan kritik kepada paham ini adalah aliran rasionalisme. Penganut aliran rasionalisme berpendapat bahwa positivisme memiliki banyak kelemahan, antara lain bahwa postitvisme terlalu mengedepankan pencarian-pencarian makna di balik fakta empiric sensual dan selain itu juga terlalu mengunggulkan fakta fragmentatif, sehingga kehilangan konteks sosio cultural dan hasil penelitian cenderung bersifat reduksionalistik dan seringkali melupakan fakta empiris yang lain, seperti empiric logic, empiric teoritis dan sebagainya.
IV. Post Positivisme
Sudah cukup banyak paham yang telah lahir dan berakar dari paham positivisme, dan masala yang paling fatal dari semua paham yang telah lahir dan berkembang saat ini menurut Ismail Al-Faruqi adalah tidak adanya peran tuhan di dalam penjabaran perkembangan hukum manusia.
Beberapa paham yang telah lahir dari paham ini, antara lain; darwinisme yang pada awalnya merupakan paham yang mengkaji manalah exact, dikarenakan sebab adanya kesamaan paham, baik itu dalam metodologi maupun kesimpulan, pada akhirnya paham ini berkembang kearah pemabahasan ideology, dalam hal ini adalah kajian metafisika. Selain itu juga berkembang paham seperti nazi-isme, marx-isme, komunisme dan lain sebagainya.
Manfaat dari keberadaan aliran positivisme seringkali terasa ketika faham ini telah melebur dengan seatu disiplin ilmu tertentu, seperti statistika mengenai metode penelitiannya, fisika, kimia, sosiologi, komunikasi, antropologi dan berbagai objek kajian lainnya.